Kereta Lebanon

Kereta ini mulai meniupkan belnya. Aku memandang kearah luar jendela kereta. Kusibakkan perlahan selambu biru yang menutupi kaca jendela ini. Banyak raut muka yang kulihat dari balik jendela ini. Ada seorang wanita yang menahan tangis, menggenggam erat dompet hitamnya, dan memandang haru ke arah kereta ini. Dia berbaju hijau dengan model semi gaun selutut. Menurut pengamatanku, wanita itu berumur 45 tahun. Uban yang mulai muncul di rambutnya ia biarkan tumbuh alami. Tangisnya sangat tertahan, tampak dari pandangan mukanya yang sayu, alisnya yang berkerut, bibirnya yang terkatup rapat, tangannya yang menggenggam erat dan hidungnya yang memerah. Bahasa tubuh sang wanita itu menjelaskan bahwa dia sangat berat melepas entah siapa yang ada di dalam kereta. Aku tak tahu. Dan aku tak berusaha mencari tahu. Pandanganku beralih ke deretan kursi plastik biru yang disediakan pihak pengelola stasiun. Di deretan paling depan, terlihat seorang pria paruh baya berkemeja putih. Tampak rapi. Dengan senyum dia menatap ke dalam kereta. Senyumnya terkulum, pandangan matanya sangat teduh. Pria itu melambaikan tangannya padaku. Dialah Ayahku.


Ayahku sangat tegar. Ketegaran itu menurun padaku. Meskipun aku wanita, aku selalu bisa mengendalikan kesedihanku. Aku tidak akan menangis hanya karena temanku mengambil jatah makan siangku. Aku tidak menangis saat aku terjatuh dari sepeda dan meninggalkan bekas luka di kakiku hingga sekarang. Dan bahkan aku tidak menangis saat aku kehilangan uangku ketika aku akan membayar sekolah dari uang yang aku kumpulkan dari bekerja paruh waktu. Hanya kali ini saja aku tidak bisa. Tembok ketegaranku runtuh. Luluh lantak. Saat ini aku persis seperti orang lemah yang hanya bisa menangis untuk bisa menyelesaikan masalahnya.


Bel kereta terdengar dua kali dan lebih kencang. Kereta mulai bergerak maju perlahan. Mataku mulai basah. Aku melihat Ayah untuk kesekian kalinya. Ayah berdiri dan mendekat ke jendelaku. Dia sedikit berlari. Aku menempelkan wajah dan tanganku ke jendela. Agar Ayah tahu bahwa aku melihatnya berlari. Keretaku berjalan lebih cepat. Ayah melambaikan tangannya. Aku menatap tajam kepada Ayah. Pandanganku kabur. Mataku basah. Dari balik mata basahku, aku tahu bahwa Ayah juga berkaca-kaca. Kereta semakin cepat hingga Ayah tak mampu mengejarnya lagi. Aku hanya bisa menggigit bibirku dengan kuat, agar suara tangisku tak pecah, dan menutup wajah dengan kedua tanganku. Aku melihat sekilas di sekelilingku. Sebelahku kosong. Dan kuisi dengan tasku. Aku lihat di kursi seberang seorang lelaki yang membaca buku. Meski aku tahu pasti matanya sedang tidak tertuju pada buku di hadapannya. Aku tak tahu pasti apa yang dia pikirkan. Aku hanya memikirkan aku, Ayah, dan juga keluargaku.


Aku tak pernah merasa sesedih ini. Kali ini aku benar-benar istimewa karena perasaanku sedang terguncang hebat. Sangatlah hebat. Dan bahkan aku tak tahu adakah peristiwa lain yang akan mengguncang hatiku dengan lebih hebat daripada peristiwa ini. Aku mulai tenang. Aku pejamkan mataku, menundukkan kepalaku, dan berdoa. Berharap keberangkatanku menuju Lebanon menjadi sebuah perjalanan manis. Keputusanku untuk menjadi tenaga medis perwakilan Indonesia bukan keputusan yang kuperoleh hanya dengan semalam. Perlu waktu satu minggu lebih untuk menetapkan hati. Dan sekarang, aku disini. Sedang dalam kereta bersama dengan ratusan tentara lainnya yang akan berjuang di Lebanon, bersama dengan puluhan tenaga medis yang sudah terampil dan berniat mengabdikan dirinya, bersama dengan masinis yang akan membawa kami dari Semarang ini dan untuk kemudian memberhentikan kami di Jakarta sebelum akhirnya kami semua akan terbang menuju Lebanon dan menghadapi segala hal disana. Tentu saja aku tidak ingin mati. Dan tentu saja aku juga tidak ingin menjadi tenaga medis yang komersial dan mengabaikan bahwa akan banyak pihak yang memerlukan pertolonganku disaat dirinya kesakitan, terluka, atau dia akan meregang nyawa. Aku sudah mantap dengan keputusanku ini. Dan bukan berarti aku tidak mengabaikan kegelisahan saudara-saudaraku yang melarang kepergianku ini. Ingat, aku bukan pergi, tapi aku bertugas, dan tentu saja aku ingin kembali. Itulah semua harapan kami yang ada di kereta ini. Kami semua ingin kembali dan kemudia menemui siapa saja yang telah menghantarkan kami tadi di stasiun kereta.


Harapan kami untuk kembali bisa menjadi sebuah memori luka yang tak pernah sembuh bagi seseorang. Seseorang yang selalu berharap bahwa putranya yang berangkat untuk berperang di perbatasan Timor-Timor beberapa tahun lalu ternyata tak pernah kembali. Dan wanita itu selalu menjadi pengantar orang-orang seperti kami, kami yang dalam kereta ini, yang akan menuju ke medan perang. Tentu saja aku mengerti mengapa wanita berbaju hijau yang rambutnya mulai beruban tadi mempunyai bahasa tubuh yang sangat mengharukan saat melihat kereta ini mulai bergerak maju. Karena ia teringat dirinya saat melepas putranya beberapa tahun lalu. Dan tentu saja karena ia berharap kami semua tidak akan memiliki nasib yang sama dengan sang putra. Tentu saja.


~ by Zizima on April 12, 2009.

11 Responses to “Kereta Lebanon”

  1. waaaaaaaaaaaahhhhhhh…. cita – citaku banget !!!!… InsyaAllah…Amiiiiinnnnn.
    Great !!!!!

  2. So many accident and human error yang sebenernya nggak pengen kutahu, apalagi kuliat…. Bekerja disini, berarti harus menang melawan diri sendiri… Kuat iman untuk selalu mengingatkan teman sejawat… Karena otak & tenaga kami yang dituntut siaga 24 jam… Stressornya berat banget. InsyaAllah ada banyak orang disana yang masih butuh bantuan

    PS : sebenernya nggak ada waktu untuk mikir ‘romance’ ;p… Apalagi menumbuhkan suasana romance ;D… Tapi semua terjadi begitu saja

  3. ceritanya menarik…..ehm….pengen jd pnulis y mbk…..goodluck…..

  4. cerita yang menarik tentang kemanusiaan

    mbak mau jadi penulis ya?

    ditunggu selanjutnya

  5. wah…subhanalloh…ternyata da bakat terpendam dari zizima untuk menjadi novelis (sebenare dah tau se dari waktu SNP itu hehehehehe………….) ayo lanjutkan lagi dan beri karya yang bermutu untuk dunia dan indonesia…………..(terlalu semangat ya aku….hehehehe…….)

    Reply:
    Waah waah,, maluu… ini juga colongan.. sampe sekarang belum bikin lagi, hehe… lagi bumpet. kadang ngarang itu enak banget, cuma akhir-akhir ni idenya tentang kantor. kayanya lucu kalo novel model cerita kantoran. garing 😀
    SNP? hihii.. masa-masa itu.. penuh kesan 🙂 nyimpen fotonya ndak mas?

  6. hahaha….jangan malu ma karya yang dah dibuat, sejelek apapun dan sesedikit apapun tetaplah bangga karena kita bisa berkarya hehehe…..

    aku masih nyimpen dunk foto-fotonya…sering juga diliat-liat…ada juga lho foto kamu waktu presentasi didepan sama fahmi dll….

    Reply:
    Soalnya kalo lihat hasil teman-temanku karyanya udah pada daleeem banget 🙂

    Wah wah,, boleh dunk mas dibagi.. aku sama sekali ndak punya foto waktu itu ^^

  7. ga boleh rendah diri, yang boleh rendah hati hehehehe…. semua butuh proses dan selama proses itu tetep aja yang dihasilkan bagus…. (aku aja seneng bacanya ^^)

    boleh…boleh…mau dikirim via apaan ne? tapi emang se kebanyakan foto narsis kita (aku, fahmi, dll hehehe…..) masalahnya dulu kita belum kenal banget hehehehe…. jadi ga banyak dech fotonya….

    Reply:
    iyaya.. tetep musti mencoba,,, kalo kali ini ngelesnya soalnya keterbatasan waktu (klise, hehe). Padahal kalo ada ide bisa langsung jadi ya.. 😀

    Dikirim via email aja mas gakpapa.. setidaknya aku bisa nginget zaman dulu waktu SNP kaya gimana. yang aku tau, hotelnya ndak enak nseru banget naek perahu.. jadi pingin lagi..

    • sekarang kalo mau kesana dah ga usah naek perahu lagi…kan dah ada jembatannya itu (dulu waktu kita kesana belum jadi ya????) hehehehe…….. jadi pengen ngrasain rasanya lewat dijembatannya…… emailnya apaan ma?

      Reply:
      naek jembatannya bikin ngeri soalnya bautnya udah pada diputuli.. habis gitu kalo malam sereeem banget mas.. gelaaap.. penerangannya masih kurang. Tapi kalo siang-siang ok-ok aja :). Emailnya dah aku email ke emailnya mas yang yahoo yaa… Syukron

  8. kamu emailnya apaan? ntar aku kirimin…….

    Reply:
    Dah aku kirim di emailnya mas yang yahoo ya…

Leave a reply to tama roseta Cancel reply