Hanya Berharap RidhoNya

Berbeda pendapat dengan ortu. Suatu kondisi yang kurang menyenangkan. Antara ingin mempertahankan ego sendiri dan keinginan untuk membahagiakan orang tua. Seringkali dua hal itu menjadi suatu pilihan yang mutlak dan hanya bisa dipilih salah satunya saja.

Beberapa waktu lalu sempat mengalami kejadian ini. Dimana keinginanku bertolak belakang dengan apa yang diharapkan oleh orang tua. Orang tua bukannya tidak tahu kalau apa yang diinginkan anaknya adalah yang akan membuatnya senang. Dan sang anakpun juga bukannya menutup mata jika keinginannya diikuti maka orang tua akan sangat lega hatinya.

Sampai akhirnya…

Berpasrahlah aku akan apa yang dikehendaki oleh orang tuaku. Insya Allah semua demi kebaikan juga. Pada awalnya ingin tetap mengikuti kehendak hati. tapi melihat orang tua, keinginan itu seperti tak ada artinya. Ibaratnya berperang, berperang tanpa senjata dan berjuang tanpa kawan.

Bismillah.. Semoga dengan diambilnya jalan ini, maka semua pihak akan merasakan kebaikan yang lebih berkah dan keindahaan yang akan datang diwaktu yang tepat. Semoga ridhoNya akan tercapai melalui kedua orang tuaku. Insya Allah. Amiin.

Dan memang, saat ini, semakin hari semakin jelas terlihat bahwa apa yang diinginan oleh orang tua sebenarnya adalah baik untuk kita. Selama kita terus belajar untuk ikhlas.

My parents, i do really want to make u both happy 🙂

~ by Zizima on March 31, 2010.

10 Responses to “Hanya Berharap RidhoNya”

  1. serba salah menang,…(selalu tersirat di status yg kmu buat).. Kita seakan diposisikan ditempat yg salah, mau melawan takut durhaka, tp mau pasrah hati gak rela…yang ada hanya bathin berkecamuk tanpa henti. Apalagi yg diinginkan ortu menyangkut masa depan dan kebahagiaan kita.
    Tetaplah bersabar & selalu berdoa,… dengan membahagiakan orang tua, Insya Allah, Allah akan memberi kmu “hadiah” yg takkan ternilai…. Amiin.. 🙂

    Reply:
    Emang ketahuan ya dari FBnya? hehehe.
    Insya Allah. Amiin 🙂

  2. semangat Zizi 🙂

    Reply:
    makasih yah 🙂

  3. Mungkin cerita ini bisa meyakinkan keputusanmu, Ma.
    membahagiakan orang tua = dekat dengan ridho-Nya..
    Wallahu A’lam bishawab,..

    ======================================================

    PUDARNYA PESONA CLEOPATRA

    Dengan panjang lebar ibu menjelaskan, sebenarnya sejak ada dalam kandungan aku telah
    dijodohkan dengan Raihana yang tak pernah kukenal. “Ibunya Raihana adalah teman
    karib ibu waktu nyantri di pesantren Mangkuyudan Solo dulu,” kata ibu.

    “Kami pernah berjanji, jika dikarunia anak berlainan jenis akan besanan untuk
    memperteguh tali persaudaraan. Karena itu ibu mohon keikhlasanmu,” ucap beliau
    dengan nada mengiba.

    Dalam pergulatan jiwa yang sulit berhari-hari, akhirnya aku pasrah. Aku menuruti
    keinginan ibu. Aku tak mau mengecewakan ibu. Aku ingin menjadi mentari pagi di
    hatinya, meskipun untuk itu aku harus mengorbankan diriku.

    Dengan hati pahit kuserahkan semuanya bulat-bulat pada ibu. Meskipun sesungguhnya
    dalam hatiku timbul kecemasan-kecemasan yang datang begitu saja dan tidak tahu
    alasannya. Yang jelas aku sudah punya kriteria dan impian tersendiri untuk calon istriku.
    Aku tidak bisa berbuat apa-apa berhadapan dengan air mata ibu yang amat kucintai. Saat
    khitbah (lamaran) sekilas kutatap wajah Raihana, benar kata Aida adikku, ia memang
    baby face dan anggun. Namun garis-garis kecantikan yang kuinginkan tak kutemukan
    sama sekali.

    Adikku, tante Lia mengakui Raihana cantik, “Cantiknya alami, bisa jadi bintang iklan
    Lux lho, asli !” kata tante Lia. Tapi penilaianku lain, mungkin karena aku begitu hanyut
    dengan gadis-gadis Mesir titisan Cleopatra, yang tinggi semampai, wajahnya putih jelita,
    dengan hidung melengkung indah, mata bulat bening khas Arab, dan bibir yang merah.
    Di hari-hari menjelang pernikahanku, aku berusaha menumbuhkan bibit-bibit cintaku
    untuk calon istriku, tetapi usahaku selalu sia-sia.

    Aku ingin memberontak pada ibuku, tetapi wajah teduhnya meluluhkanku. Hari
    pernikahan datang. Duduk di pelaminan bagai mayat hidup, hati hampa tanpa cinta,
    Pestapun meriah dengan empat group rebana. Lantunan shalawat Nabipun terasa
    menusuk-nusuk hati. Kulihat Raihana tersenyum manis, tetapi hatiku terasa teriris-iris
    dan jiwaku meronta. Satu-satunya harapanku adalah mendapat berkah dari Allah SWT
    atas baktiku pada ibuku yang kucintai. Rabbighfir li wa liwalidayya!

    Layaknya pengantin baru, kupaksakan untuk mesra tapi bukan cinta, hanya sekedar
    karena aku seorang manusia yang terbiasa membaca ayat-ayatNya. Raihana tersenyum
    mengembang, hatiku menangisi kebohonganku dan kepura-puraanku.

    ***

    Tepat dua bulan Raihana kubawa ke kontrakan dipinggir kota Malang. Mulailah
    kehidupan hampa. Aku tak menemukan adanya gairah. Betapa susah hidup berkeluarga
    tanpa cinta. Makan, minum, tidur, dan shalat bersama dengan makhluk yang bernama
    Raihana, istriku, tapi Masya Allah bibit cintaku belum juga tumbuh. Suaranya yang
    lembut terasa hambar, wajahnya yang teduh tetap terasa asing.

    Memasuki bulan keempat, rasa muak hidup bersama Raihana mulai kurasakan, rasa ini
    muncul begitu saja. Aku mencoba membuang jauh-jauh rasa tidak baik ini, apalagi pada
    istri sendiri yang seharusnya kusayang dan kucintai. Sikapku pada Raihana mulai lain.
    Aku lebih banyak diam, acuh tak acuh, agak sinis, dan tidur pun lebih banyak di ruang
    tamu atau ruang kerja. Aku merasa hidupku ada lah sia-sia, belajar di luar negeri sia-sia,
    pernikahanku sia-sia, keberadaanku sia-sia.

    Tidak hanya aku yang tersiksa, Raihanapun merasakan hal yang sama, karena ia orang
    yang berpendidikan, maka diapun tanya, tetapi kujawab, “tidak apa-apa koq mbak,
    mungkin aku belum dewasa, mungkin masih harus belajar berumah tangga.”
    Ada kekagetan yang kutangkap di wajah Raihana ketika kupanggil ‘mbak’, “Kenapa Mas
    memanggilku mbak, aku kan istrimu, apa Mas sudah tidak mencintaiku,” tanyanya
    dengan guratan wajah yang sedih.

    “Wallahu a’lam,” jawabku sekenanya. Dengan mata berkaca-kaca Raihana diam
    menunduk, tak lama kemudian dia terisak-isak sambil memeluk kakiku, “Kalau Mas
    tidak mencintaiku, tidak menerimaku sebagai istri, kenapa Mas ucapkan akad nikah?”
    “Kalau dalam tingkahku melayani Mas masih ada yang kurang berkenan, kenapa Mas
    tidak bilang dan menegurnya, kenapa Mas diam saja, aku harus bersikap bagaimana
    untuk membahagiakan Mas, kumohon bukalah sedikit hatimu untuk menjadi ruang bagi
    pengabdianku, bagi menyempurnakan ibadahku di dunia ini,” Raihana mengiba penuh
    pasrah.

    Aku menangis menitikkan air mata, bukan karena Raihana tetapi karena kepatunganku.
    Hari terus berjalan, tetapi komunikasi kami tidak berjalan. Kami hidup seperti orang
    asing tetapi Raihana tetap melayaniku, menyiapkan segalanya untukku.

    ***

    Suatu sore aku pulang mengajar dan kehujanan, sampai di rumah habis maghrib, bibirku
    pucat, perutku belum kemasukkan apa-apa kecuali segelas kopi buatan Raihana tadi pagi.
    Memang aku berangkat pagi karena ada janji dengan teman. Raihana memandangiku
    dengan khawatir.

    “Mas tidak apa-apa,” tanyanya dengan perasaan kuatir. “Mas mandi dengan air panas
    saja, aku sedang menggodoknya, lima menit lagi mendidih,” lanjutnya. Aku melepas
    semua pakaian yang basah. ”Mas airnya sudah siap,” kata Raihana. Aku tak bicara
    sepatah katapun, aku langsung ke kamar mandi, aku lupa membawa handuk, tetapi
    Raihana telah berdiri di depan pintu membawa handuk. ”Mas aku buatkan wedang jahe.”
    Aku diam saja. Aku merasa mulas dan mual dalam perutku tak bisa kutahan.

    Dengan cepat aku berlari ke kamar mandi dan Raihana mengejarku dan memijit-mijit
    pundak dan tengkukku seperti yang dilakukan ibu. “Mas masuk angin. Biasanya kalau
    masuk angin diobati pakai apa, pakai balsam, minyak putih, atau jamu?” tanya Raihana
    sambil menuntunku ke kamar. ”Mas jangan diam saja dong, aku kan tidak tahu apa yang
    harus kulakukan untuk membantu Mas”.

    “Biasanya dikerokin,” jawabku lirih. “Kalau begitu kaos mas dilepas ya, biar Hana
    kerokin,” sahut Raihana sambil tangannya melepas kaosku. Aku seperti anak kecil yang
    dimanja ibunya. Raihana dengan sabar mengeroki punggungku dengan sentuhan
    tangannya yang halus.

    Setelah selesai dikerokin, Raihana membawakanku semangkok bubur kacang hijau.
    Setelah itu aku merebahkan diri di tempat tidur. Kulihat Raihana duduk di kursi tak jauh
    dari tempat tidur sambil menghafal Al Quran dengan khusyu. Aku kembali sedih dan
    ingin menangis, Raihana manis tapi tak semanis gadis-gadis Mesir titisan Cleopatra.

    Dalam tidur aku bermimpi bertemu dengan Cleopatra, ia mengundangku untuk makan
    malam di istananya. “Aku punya keponakan namanya Mona Zaki, nanti akan aku
    perkenalkan denganmu,” kata Ratu Cleopatra. “Dia memintaku untuk mencarikannya
    seorang pangeran, aku melihatmu cocok dan berniat memperkenalkannya denganmu.”

    Aku mempersiapkan segalanya. Tepat pukul 07.00 aku datang ke istana, kulihat Mona
    Zaki dengan pakaian pengantinnya, cantik sekali. Sang ratu mempersilakan aku duduk di
    kursi yang berhias berlian.

    Aku melangkah maju, belum sempat duduk, tiba-tiba “Mas, bangun, sudah jam setengah
    empat, mas belum sholat Isya,” kata Raihana membangunkanku. Aku terbangun dengan
    perasaan kecewa. “Maafkan aku Mas, membuat Mas kurang suka, tetapi Mas belum
    sholat Isya,” lirih Hana sambil melepas mukenanya, mungkin dia baru selesai sholat
    malam.

    Meskipun cuman mimpi tapi itu indah sekali, tapi sayang terputus. Aku jadi semakin
    tidak suka sama dia, dialah pemutus harapanku dan mimpi-mimpiku. Tapi apakah dia
    bersalah, bukankah dia berbuat baik membangunkanku untuk sholat Isya.

    Selanjutnya aku merasa sulit hidup bersama Raihana, aku tidak tahu dari mana sulitnya.
    Rasa tidak suka semakin menjadi-jadi. Aku benar-benar terpenjara dalam suasana konyol.
    Aku belum bisa menyukai Raihana. Aku sendiri belum pernah jatuh cinta, entah kenapa
    bisa dijajah pesona gadis-gadis titisan Cleopatra.

    ***

    “Mas, nanti sore ada acara aqiqah di rumah Yu Imah. Semua keluarga akan datang
    termasuk ibundamu. Kita diundang juga. Yuk, kita datang bareng, tidak enak kalau kita
    yang dieluk-elukan keluarga tidak datang,” suara lembut Raihana menyadarkan
    pengembaraanku pada Jaman Ibnu Hazm. Pelan-pelan ia letakkan nampan yang berisi
    onde-onde kesukaanku dan segelas wedang jahe.

    Tangannya yang halus agak gemetar. Aku dingin-dingin saja. “Maaf..maaf jika
    mengganggu Mas, maafkan Hana,” lirihnya, lalu perlahan-lahan beranjak meninggalkan
    aku di ruang kerja. “Mbak! Eh maaf, maksudku D..Din..Dinda Hana!,” panggilku dengan
    suara parau tercekak dalam tenggorokan.

    “Ya Mas!” sahut Hana langsung menghentikan langkahnya dan pelan-pelan
    menghadapkan dirinya padaku. Ia berusaha untuk tersenyum, agaknya ia bahagia
    dipanggil ‘dinda’. Matanya sedikit berbinar. “Te..terima kasih Di..dinda, kita berangkat
    bareng kesana, habis sholat dhuhur, insya Allah,” ucapku sambil menatap wajah Hana
    dengan senyum yang kupaksakan.

    Raihana menatapku dengan wajah sangat cerah, ada secercah senyum bersinar di
    bibirnya. “Terima kasih Mas, Ibu kita pasti senang, mau pakai baju yang mana Mas, biar
    dinda siapkan? Atau biar dinda saja yang memilihkan ya?” Hana begitu bahagia.

    Perempuan berjilbab ini memang luar biasa, Ia tetap sabar mencurahkan bakti meskipun
    aku dingin dan acuh tak acuh padanya selama ini. Aku belum pernah melihatnya
    memasang wajah masam atau tidak suka padaku. Kalau wajah sedihnya ya. Tapi wajah
    tidak sukanya belum pernah.

    Bah, lelaki macam apa aku ini, kutukku pada diriku sendiri. Aku memaki-maki diriku
    sendiri atas sikap dinginku selama ini. Tapi, setetes embun cinta yang kuharapkan
    membasahi hatiku tak juga turun. Kecantikan aura titisan Cleopatra itu? Bagaimana aku
    mengusirnya. Aku merasa menjadi orang yang paling membenci diriku sendiri di dunia
    ini.

    Acara pengajian dan aqiqah putra ketiga Fatimah kakak sulung Raihana membawa
    sejarah baru lembaran pernikahan kami. Benar dugaan Raihana, kami dielu-elukan
    keluarga, disambut hangat, penuh cinta, dan penuh bangga. “Selamat datang pengantin
    baru! Selamat datang pasangan yang paling ideal dalam keluarga!” sambut Yu Imah
    disambut tepuk tangan bahagia mertua dan bundaku serta kerabat yang lain. Wajah
    Raihana cerah. Matanya berbinar-binar bahagia. Lain dengan aku, dalam hatiku menangis
    disebut pasangan ideal.

    Apanya yang ideal. Apa karena aku lulusan Mesir dan Raihana lulusan terbaik di
    kampusnya dan hafal al-Quran lantas disebut ideal? Ideal bagiku adalah seperti Ibnu
    Hazm dan istrinya, saling memiliki rasa cinta yang sampai pada pengorbanan satu sama
    lain. Rasa cinta yang tidak lagi memungkinkan adanya pengkhianatan. Rasa cinta yang
    dari detik ke detik meneteskan rasa bahagia.

    Tapi diriku? Aku belum bisa memiliki cinta seperti yang dimiliki Raihana.
    Sambutan sanak saudara pada kami benar-benar hangat. Aku dibuat kaget oleh sikap
    Raihana yang begitu kuat menjaga kewibawaanku di mata keluarga. Pada ibuku dan
    semuanya tidak pernah diceritakan, kecuali menyanjung kebaikanku sebagai seorang
    suami yang dicintainya. Bahkan ia mengaku bangga dan bahagia menjadi istriku. Aku
    sendiri dibuat pusing dengan sikapku.

    Lebih pusing lagi sikap ibuku dan mertuaku yang menyindir tentang keturunan. “Sudah
    satu tahun putra sulungku menikah, koq belum ada tanda-tandanya ya, padahal aku ingin
    sekali menimang cucu,” kata ibuku. “Insya Allah tak lama lagi, ibu akan menimang cucu,
    doakanlah kami. Bukankah begitu, Mas?” sahut Raihana sambil menyikut lenganku, aku
    tergagap dan mengangguk sekenanya.

    Setelah peristiwa itu, aku mencoba bersikap bersahabat dengan Raihana. Aku berpurapura
    kembali mesra dengannya, sebagai suami betulan. Jujur, aku hanya pura-pura. Sebab
    bukan atas dasar cinta, dan bukan kehendakku sendiri aku melakukannya, ini semua demi
    ibuku. Allah Maha Kuasa. Kepura-puraanku memuliakan Raihana sebagai seorang istri.
    Raihana hamil. Ia semakin manis.

    Keluarga bersuka cita semua. Namun hatiku menangis karena cinta tak kunjung tiba.
    Tuhan kasihanilah hamba, datangkanlah cinta itu segera. Sejak itu aku semakin sedih
    sehingga Raihana yang sedang hamil tidak kuperhatikan lagi. Setiap saat nuraniku
    bertanya, “Mana tanggung jawabmu!” Aku hanya diam dan mendesah sedih. “Entahlah,
    betapa sulit aku menemukan cinta,” gumamku.

    Dan akhirnya datanglah hari itu, usia kehamilan Raihana memasuki bulan ke enam.
    Raihana minta ijin untuk tinggal bersama orang tuanya dengan alasan kesehatan.
    Kukabulkan permintaanya dan kuantarkan dia ke rumahnya.

    Karena rumah mertua jauh dari kampus tempat aku mengajar, mertuaku tak menaruh
    curiga ketika aku harus tetap tinggal di kontrakan. Ketika aku pamitan, Raihana berpesan,
    “Mas, untuk menambah biaya kelahiran anak kita, tolong nanti cairkan tabunganku yang
    ada di ATM. Aku taruh di bawah bantal, nomor pin-nya sama dengan tanggal pernikahan
    kita.”

    Setelah Raihana tinggal bersama ibunya, aku sedikit lega. Setiap hari aku tidak bertemu
    dengan orang yang membuatku tidak nyaman. Entah apa sebabnya bisa demikian. Hanya
    saja aku sedikit repot, harus menyiapkan segalanya. Tapi toh bukan masalah bagiku,
    karena aku sudah terbiasa saat kuliah di Mesir.

    Waktu terus berjalan, dan aku merasa enjoy tanpa Raihana. Suatu saat aku pulang
    kehujanan. Sampai rumah hari sudah petang, aku merasa tubuhku benar-benar lemas.
    Aku muntah-muntah, menggigil, kepala pusing dan perut mual. Saat itu terlintas di hati
    andaikan ada Raihana, dia pasti telah menyiapkan air panas, bubur kacang hijau,
    membantu mengobati masuk angin dengan mengeroki punggungku, lalu menyuruhku
    istirahat dan menutupi tubuhku dengan selimut.

    Malam itu aku benar-benar tersiksa dan menderita. Aku terbangun jam enam pagi. Badan
    sudah segar. Tapi ada penyesalan dalam hati, aku belum sholat Isya dan terlambat sholat
    subuh. Baru sedikit terasa, andaikan ada Raihana tentu aku ngak meninggalkan sholat
    Isya, dan tidak terlambat sholat subuh.

    Lintasan Raihana hilang seiring keberangkatan mengajar di kampus. Apalagi aku
    mendapat tugas dari universitas untuk mengikuti pelatihan mutu dosen mata kuliah
    bahasa Arab. Diantaranya tutornya adalah professor bahasa Arab dari Mesir. Aku jadi
    banyak berbincang dengan beliau tentang Mesir.

    Dalam pelatihan aku juga berkenalan dengan Pak Qalyubi, seorang dosen bahasa Arab
    dari Medan. Dia menempuh S1-nya di Mesir. Dia menceritakan satu pengalaman hidup
    yang menurutnya pahit dan terlanjur dijalani. ”Apakah kamu sudah menikah?” kata Pak
    Qalyubi.

    “Alhamdulillah, sudah,” jawabku.
    “Dengan orang mana?”.
    “Orang Jawa.”
    “Pasti orang yang baik ya. Iya kan? Biasanya pulang dari Mesir banyak saudara yang
    menawarkan untuk menikah dengan perempuan shalehah. Paling tidak santriwati, lulusan
    pesantren. Istrimu dari pesantren?”.
    “Pernah, alhamdulillah dia sarjana dan hafal Al Quran”.
    “Kau sangat beruntung, tidak sepertiku.”
    “Kenapa dengan Bapak?” “Aku melakukan langkah yang salah, seandainya aku tidak
    menikah dengan orang Mesir itu, tentu batinku tidak merana seperti sekarang”.
    “Bagaimana itu bisa terjadi?.”
    “Kamu tentu tahu kan gadis Mesir itu cantik-cantik, dan karena terpesona dengan
    kecantikanya saya menderita seperti ini. Ceritanya begini, saya seorang anak tunggal dari
    seorang yang kaya, saya berangkat ke Mesir dengan biaya orang tua. Di sana saya
    bersama kakak kelas namanya Fadhil, orang Medan juga. Seiring dengan berjalannya
    waktu, tahun pertama saya lulus dengan predikat jayyid, predikat yang cukup sulit bagi
    pelajar dari Indonesia.

    Demikian juga dengan tahun kedua. Karena prestasi saya, tuan rumah tempat saya tinggal
    menyukai saya. Saya dikenalkan dengan anak gadisnya yang bernama Yasmin. Dia tidak
    pakai jilbab. Pada pandangan pertama saya jatuh cinta, saya belum pernah melihat gadis
    secantik itu. Saya bersumpah tidak akan menikah dengan siapapun kecuali dia. Ternyata
    perasaan saya tidak bertepuk sebelah tangan. Kisah cinta saya didengar oleh Fadhil.
    Fadhil membuat garis tegas, akhiri hubungan dengan anak tuan rumah itu atau sekalian
    lanjutkan dengan menikahinya. Saya memilih yang kedua.

    Ketika saya menikahi Yasmin, banyak teman-teman yang memberi masukan begini,
    sama-sama menikah dengan gadis Mesir, kenapa tidak mencari mahasiswi Al-Azhar yang
    hafal al-Quran, salehah, dan berjilbab. Itu lebih selamat dari pada dengan Yasmin yang
    awam pengetahuan agamanya. Tetapi saya tetap teguh untuk menikahinya. Dengan biaya
    yang tinggi saya berhasil menikahi Yasmin.

    Yasmin menuntut diberi sesuatu yang lebih dari gadis Mesir. Perabot rumah yang
    mewah, menginap di hotel berbintang. Begitu selesai S-1 saya kembali ke Medan, saya
    minta agar asset yang di Mesir dijual untuk modal di Indonesia. Kami langsung membeli
    rumah yang cukup mewah di kota Medan.

    Tahun-tahun pertama hidup kami berjalan baik, setiap tahunnya Yasmin mengajak ke
    Mesir menengok orang tuanya. Aku masih bisa memenuhi semua yang diinginkan
    Yasmin. Hidup terus berjalan, biaya hidup semakin nambah, anak kami yang ketiga lahir,
    tetapi pemasukan tidak bertambah. Saya minta Yasmin untuk berhemat. Tidak setiap
    tahun tetapi tiga tahun sekali, Yasmin tidak bisa.

    Aku mati-matian berbisnis, demi keinginan Yasmin dan anak-anak terpenuhi. Sawah
    terakhir milik Ayah saya jual untuk modal. Dalam diri saya mulai muncul penyesalan.

    Setiap kali saya melihat teman-teman alumni Mesir yang hidup dengan tenang dan damai
    dengan istrinya. Bisa mengamalkan ilmu dan bisa berdakwah dengan baik. Dicintai
    masyarakat. Saya tidak mendapatkan apa yang mereka dapatkan. Jika saya pengin
    rending, saya harus ke warung. Yasmin tidak mau tahu dengan masakan Indonesia.

    Kau tahu sendiri, gadis Mesir biasanya memanggil suaminya dengan namanya. Jika ada
    sedikit letupan, maka rumah seperti neraka. Puncak penderitaan saya dimulai setahun
    yang lalu. Usaha saya bangkrut, saya minta Yasmin untuk menjual perhiasannya, tetapi
    dia tidak mau. Dia malah membandingkan dirinya yang hidup serba kurang dengan
    sepupunya. Sepupunya mendapat suami orang Mesir.

    Saya menyesal meletakkan kecantikan diatas segalanya. Saya telah diperbudak dengan
    kecantikannya. Mengetahui keadaan saya yang terjepit, ayah dan ibu mengalah. Mereka
    menjual rumah dan tanah, yang akhirnya mereka tinggal di ruko yang kecil dan sempit.

    Batin saya menangis. Mereka berharap modal itu cukup untuk merintis bisnis saya yang
    bangkrut. Bisnis saya mulai bangkit, Yasmin mulai berulah, dia mengajak ke Mesir.

    Waktu di Mesir itulah puncak tragedi yang menyakitkan. “Aku menyesal menikah
    dengan orang Indonesia, aku minta kau ceraikan aku, aku tidak bisa bahagia kecuali
    dengan lelaki Mesir.”

    Kata Yasmin yang bagaikan geledek menyambar. Lalu tanpa dosa dia bercerita bahwa
    tadi di KBRI dia bertemu dengan temannya. Teman lamanya itu sudah jadi bisnisman,
    dan istrinya sudah meninggal.

    Yasmin diajak makan siang, dan dilanjutkan dengan perselingkuhan. Aku pukul dia
    karena tak bisa menahan diri. Atas tindakan itu saya dilaporkan ke polisi. Yang
    menyakitkan adalah tak satupun keluarganya yang membelaku. Rupanya selama ini
    Yasmin sering mengirim surat yang berisi berita bohong.

    Sejak saat itu saya mengalami depresi. Dua bulan yang lalu saya mendapat surat cerai
    dari Mesir sekaligus mendapat salinan surat nikah Yasmin dengan temannya. Hati saya
    sangat sakit, ketika si sulung menggigau meminta ibunya pulang.”

    Mendengar cerita Pak Qalyubi membuatku terisak-isak. Perjalanan hidupnya
    menyadarkanku. Aku teringat Raihana. Perlahan wajahnya terbayang dimataku, tak terasa
    sudah dua bulan aku berpisah dengannya. Tiba-tiba ada kerinduan yang menyelinap
    dihati. Dia istri yang sangat shalehah. Tidak pernah meminta apapun. Bahkan yang keluar
    adalah pengabdian dan pengorbanan. Hanya karena kemurahan Allah aku mendapatkan
    istri seperti dia. Meskipun hatiku belum terbuka lebar, tetapi wajah Raihana telah
    menyala di dindingnya. Apa yang sedang dilakukan Raihana sekarang? Bagaimana
    kandungannya? Sudah delapan bulan. Sebentar lagi melahirkan. Aku jadi teringat
    pesannya. Dia ingin agar aku mencairkan tabungannya.

    Pulang dari pelatihan, aku menyempatkan ke toko baju muslim, aku ingin
    membelikannya untuk Raihana, juga daster, dan pakaian bayi. Aku ingin memberikan
    kejutan, agar dia tersenyum menyambut kedatanganku. Aku tidak langsung ke rumah
    mertua, tetapi ke kontrakan untuk mengambil uang tabungan, yang disimpan di bawah
    bantal. Di bawah kasur itu kutemukan kertas merah jambu. Hatiku berdesir, darahku
    terkesiap. Surat cinta siapa ini, rasanya aku belum pernah membuat surat cinta untuk
    istriku. Jangan-jangan ini surat cinta istriku dengan lelaki lain. Gila! Jangan-jangan
    istriku serong.

    Dengan rasa takut kubaca surat itu satu persatu. Dan Rabbi, ternyata surat-surat itu adalah
    ungkapan hati Raihana yang selama ini aku zhalimi. Ia menulis, betapa ia mati-matian
    mencintaiku, meredam rindunya akan belaianku. Ia menguatkan diri untuk menahan
    nestapa dan derita yang luar biasa. Hanya Allah lah tempat ia meratap melabuhkan
    dukanya. Dan ya Allah, ia tetap setia memanjatkan doa untuk kebaikan suaminya.
    Dan betapa dia ingin hadirnya cinta sejati dariku.

    “Rabbi dengan penuh kesyukuran, hamba bersimpuh di hadapan-Mu. Lakal hamdu ya
    Rabb. Telah Kau muliakan hamba dengan al-Quran. Kalaulah bukan karena karunia-Mu
    yang agung ini, niscaya hamba sudah terperosok ke dalam jurang kenistaan. Ya Rabbi,
    curahkan tambahan kesabaran dalam diri hamba,” tulis Raihana.

    Dalam akhir tulisannya Raihana berdoa, “Ya Allah inilah hamba-Mu yang kerdil penuh
    noda dan dosa kembali datang mengetuk pintu-Mu, melabuhkan derita jiwa ini ke
    hadirat-Mu. Ya Allah sudah tujuh bulan ini hamba-Mu ini hamil penuh derita dan
    kepayahan. Namun kenapa begitu tega suami hamba tak mempedulikanku dan
    menelantarkanku. Masih kurang apa rasa cinta hamba padanya. Masih kurang apa
    kesetiaanku padanya. Masih kurang apa baktiku padanya? Ya Allah, jika memang masih
    ada yang kurang, ilhamkanlah pada hamba-Mu ini cara berakhlak yang lebih mulia lagi
    pada suamiku.

    Ya Allah, dengan rahmatMu hamba mohon jangan murkai dia karena kelalaiannya.
    Cukup hamba saja yang menderita. Maafkanlah dia, dengan penuh cinta hamba masih
    tetap menyayanginya. Ya Allah berilah hamba kekuatan untuk tetap berbakti dan
    memuliakannya. Ya Allah, Engkau maha Tahu bahwa hamba sangat mencintainya
    karena-Mu. Sampaikanlah rasa cinta ini kepadanya dengan cara-Mu. Tegurlah dia dengan
    teguran-Mu. Ya Allah dengarkanlah doa hamba-Mu ini. Tiada Tuhan yang layak
    disembah kecuali Engkau, Maha Suci Engkau.”

    Tak terasa air mataku mengalir, dadaku terasa sesak oleh rasa haru yang luar biasa.
    Tangisku meledak. Dalam tangisku semua kebaikan Raihana terbayang. Wajahnya yang
    baby face dan teduh, pengorbanan dan pengabdiannya yang tiada putusnya, suaranya
    yang lembut, tangannya yang halus bersimpuh memeluk kakiku, semuanya terbayang
    mengalirkan perasaan haru dan cinta. Dalam keharuan terasa ada angin sejuk yang turun
    dari langit dan merasuk dalam jiwaku. Seketika itu pesona Cleopatra telah memudar
    berganti cinta Raihana yang datang di hati. Rasa sayang dan cinta pada Raihan tiba-tiba
    begitu kuat mengakar dalam hatiku. Cahaya Raihana terus berkilat-kilat di mata. Aku
    tiba-tiba begitu merindukannya. Segera kukejar waktu untuk membagi cintaku dengan
    Raihana.

    Kukebut kendaraanku. Kupacu kencang seiring dengan air mataku yang menetes
    sepanjang jalan. Begitu sampai di halaman rumah mertua, nyaris tangisku meledak.
    Kutahan dengan nafas panjang dan kuusap air mataku. Melihat kedatanganku, ibu
    mertuaku memelukku dan menangis tersedu- sedu. Aku jadi heran dan ikut menangis.

    “Mana Raihana Bu?”. Ibu mertua hanya menangis dan menangis. Aku terus bertanya apa
    sebenarnya yang telah terjadi.
    “Raihana…, istrimu….istrimu dan anakmu yang di kandungnya”.
    “Ada apa dengan dia?”
    “Dia telah tiada.”
    “Ibu berkata apa!”
    “Istrimu telah meninggal seminggu yang lalu. Dia terjatuh di kamar mandi. Kami
    membawanya ke rumah sakit. Dia dan bayinya tidak selamat. Sebelum meninggal, dia
    berpesan untuk memintakan maaf atas segala kekurangan dan kekhilafannya selama
    menyertaimu. Dia meminta maaf karena tidak bisa membuatmu bahagia. Dia meminta
    maaf telah dengan tidak sengaja membuatmu menderita. Dia minta kau meridhionya”.

    Hatiku bergetar hebat. “Kenapa ibu tidak memberi kabar padaku?”.
    “Ketika Raihana di bawa ke rumah sakit, aku telah mengutus seseorang untuk
    menjemputmu di rumah kontrakan, tapi kamu tidak ada. Dihubungi ke kampus katanya
    kamu sedang mengikuti pelatihan. Kami tidak ingin mengganggumu. Apalagi Raihana
    berpesan agar kami tidak mengganggu ketenanganmu selama pelatihan. Dan ketika
    Raihana meninggal kami sangat sedih, jadi maafkanlah kami.”

    Aku menangis tersedu-sedu. Hatiku pilu. Jiwaku remuk. Ketika aku merasakan cinta
    Raihana, dia telah tiada. Ketika aku ingin menebus dosaku, dia telah meninggalkanku.

    Ketika aku ingin memuliakannya dia telah tiada. Dia telah meninggalkan aku tanpa
    memberi kesempatan padaku untuk sekedar minta maaf dan tersenyum padanya. Tuhan
    telah menghukumku dengan penyesalan dan perasaan bersalah tiada terkira.

    Ibu mertua mengajakku ke sebuah gundukan tanah yang masih baru di kuburan pinggir
    desa. Di atas gundukan itu ada dua buah batu nisan. Nama dan hari wafat Raihana tertulis
    disana. Aku tak kuat menahan rasa cinta, haru, rindu dan penyesalan yang luar biasa. Aku
    ingin Raihana hidup kembali. Dunia tiba-tiba gelap semua.

    Potongan dari Novel:
    Habiburrahman El Shirazy, Pudarnya Pesona Cleopatra (Novel Psikologi Islam
    Pembangun Jiwa)

    Reply:
    Subhanallah.. Maturnuwun ya Budi..

  4. kadang2 apa yg qt inginkan/harapkan itu tdk sesuai dg kenyataan, apalagi bila hal itu trjadi krn adanya keinginan dr org tua kita.. sungguh sangat berat mengambil keputusan yang seolah-olah dipaksakan,tp mau gimana lg,tiap sholat qt slalu berdo agar “ditunjukkan jalan yg lurus”… smg apa yg mjd keinginan org tua anda (yg bertolak belakang dg keinginan anda)adalah mrpkn jalan yg lurus,jalan yg lebih baik yg akan diberikan oleh Allah SWT kpd anda,Amien3x…
    ttp smangat, ttp berdoa, dan ttp brusaha…
    km boleh menangis hari ini,,tp hrs ttp trsenyum tatap masa depan,, :_plur

    Reply:
    Tangisan itu insya allah udah engga, Man.
    Sekarang udah jadi kebahagiaan yang bener-bener engga aku sangka sebelumnya 🙂

  5. hmmm…kok kejadiannya sama dengan kondisiku sekarang…dilema tingkat tinggi…dimana ego dibenturkan dengan keinginan, keiklasan dan restu orang tua yang mempunyai pandangan yang berbeda… ingin seperti kmu iz, yang bisa mengambil keputusan sulit itu…salut buat jiwa besarnya yang dilakukan demi orang tua tercinta… mom and dad…aku juga ingin membahagiakanmu sekarang….

    Reply:
    Insya Allah semua akan datang dan indah pada waktunya. Alhamdulillah semua terlewati dengan baik. Apa yang diharapkan orang tua, emeng bener-bener yang terbaik buat kita. Sekarang aku lagi merasakan itu ^^
    Semangaat yaa. U can do 🙂

  6. Alhamdulillah lek ngono..
    Aq melu senang Ma,serius iki.. 🙂
    Pokoke lek delok awakmu sedih iku aq paling gak iso Ma..
    Soale goro2 awkmu barang aq iso dadi wong kyk saiki..
    Trima kasih byk atas bantuannya dahulu,krn kepandaianmulah aq bs byk belajar darimu..
    Bravo izma… 😀

    Reply:
    tenang aja.. im totally okay n fine 🙂
    Waaah, insya allah iku kabeh cz karena usahamu plus doa yang gak pernah putus.
    sukses n tetep semangat yaaaaaaaaaaaaaah ^^

  7. betul betul betul, stujuuuuu,

    meski aku adlh ank yg bandel (untuk hal gak penting) tp bs lgng brubah jd penurut (untuk urusan penting n prinsip), maklum bu bapakku kan wajahnya sangat xixixixi, lha wong yg lulus sensor aj cm mas ryan n kakak iparku (yg laen pada lari ter-kencing2) he he *duh kok kejam

    jd kangen sm bapak nih 😀 *ank bontot kesayangan soalnya he he

    yah bener, mengharap ridho-Nya, pas di jalan ada kata2 g menyenangkn dr pihak siapa gitu, tp bila tujuannya mengharap ridho-Nya, jd senyum2 sendiri *mungkin itu ujian keikhlasan bagi kita (sokbijaksanacritanya) he he,

    btw, niat banget sih yg co pas novel PUDARNYA CLEOPATRA, tp emng keren kok, waktu itu aku n isnaini baca pas kuliah, n terharu tersayatsayat jg tertusuk saking kerennya, kang abik sih,

  8. Makasih sharingnya, Iz.

    Reply:
    sama-sama yah 🙂

  9. wah..udah ag basi ni mo ngasih komen…
    tp yg jelas,, ortu slalu niatnya ngupayain yg terbaik bwt anaknya,, mungkin kita2 ini bakal tau apa yg dirasa n dipikir ortu pas kita2 udah dewasa, berkeluarga dan punya anak2..

    btw,, link ke blogku tlg diedit ya,, yg moogie tu udh almarhum,, ni skrg pke ini,, blog jaman mbah2 yg diaktifkan lagi..

    ttp semangat nge-blog..

    Reply:
    Bener, ortu emang punya 1001 cara buat ngasih pengarahan anaknya. Insya Allah selalu mengharapkan setiap anaknya punya jalan kehidupan yang lebih indah dari yang dibayangkan oleh si anak itu sendiri 🙂

    Wah iya, ntar aku edit ya.. Maturnuwun udah mampir 🙂

  10. Etika hati :p

    Reply:
    Love is about spreading happiness 🙂

Leave a reply to tama roseta Cancel reply